Jumat, 30 Agustus 2013

Apakah Tiap Malam Kita Melihat Bintang yang Sama ?

Jawabannya tidak. Setiap malam kita dapat melihat ada bintang-bintang baru di ufuk timur saat Matahari terbenam. Kita juga melihat bahwa bintang-bintang di ufuk barat yang kita amati pada malam sebelumnya tidak dapat kita amati lagi.

Ketika bintang-bintang yang ada di langit malam terbenam, yang lain pun terbit. Perlu diingat juga, bintang yang dilihat pengamat di belahan bumi utara dan selatan juga berbeda.

Bintang yang dilihat pengamat akan tampak bergerak melintasi langit sepanjang malam dan terus melintasi langit di siang hari --meskipun tak dapat dilihat oleh manusia dan akan kembali di lokasi yang relatif sama di malam hari di waktu yang sama keesokan harinya.

Tapi kalau pengamatan dilakukan dalam jangka waktu yang lebih lama, pengamat akan melihat kalau lokasi bintang dan kelompoknya itu bergeser. Ada pula kelompok bintang baru yang tampak di langit pada waktu tersebut.

Mengapa demikian?

Penyebab bintang-bintang tampak bergerak di langit malam adalah gerak rotasi Bumi. Perputaran Bumi pada porosnya inilah yang menyebabkan pengamat di Bumi melihat bintang-bintang melintasi angkasa terbit dan terbenam seperti layaknya Matahari dan Bulan.

Bumi menyelesaikan putaran 360° pada porosnya setiap 23 jam 56 menit sehingga bintang pun tampak berputar dan bergerak.

Jika dilihat dari kutub, maka Bumi akan tampak berputar berlawanan arah jarum jam, dan bintang-bintang akan tampak bergerak dari timur ke barat.

Tapi bagi pengamat di kutub, bintang akan tampak berputar di langit tidak pernah mencapai horison sehingga tidak akan mengalami terbit dan tenggelam. Bintang-bintang seperti ini disebut bintang sirkumpolar.

Lakukan percobaan ini!
Keluar dan amatilah langit. Pilih beberapa bintang atau satu rasi bintang tertentu dan petakan pada kertas. Amati sepanjang malam dan lihatlah pergerakan bintang-bintang itu.

Lakukan pengamatan secara rutin pada waktu yang sama selama beberapa hari berikutnya dan bandingkan gambar yang dibuat setiap melakukan pengamatan. Pada jam yang sama, bintang yang dilihat “hampir tidak mengalami perubahan posisi” tapi sepanjang malam, sang bintang bergerak dari timur ke barat.

Sekarang, lakukan pengamatan pada jam yang sama beberapa bulan kemudian. Pengamat akan menemukan kalau bintang-bintang yang dilihat dulu sudah berpindah lokasi atau bahkan sudah tidak tampak lagi di langit malam digantikan kelompok bintang yang berbeda. Ini disebabkan oleh gerak Bumi mengelilingi Matahari.

Bumi membutuhkan waktu satu tahun untuk mengelilingi Matahari, dan selama setahun tersebut, pengamat di Bumi akan melihat kelompok bintang atau konstelasi bintang yang berbeda.

Jadi perputaran Bumi pada dirinya sendiri menyebabkan pengamat di Bumi melihat bintang bergerak sepanjang malam. Perputaran Bumi mengelilingi Matahari memberi kesempatan pada pengamat di Bumi untuk mengamati porsi langit malam yang berbeda-beda.

(Sumber: langitselatan.com) / nationalgeographicindonesia.

Pulau Peucang, Keindahan nan Melekat di Ujung Barat


Dalam koridor lingua Pasundan, Peucang bisa juga diartikan sebagai kancil. Masyarakat banyak mengatakan nama Peucang berasal dari nama sejenis siput yang ditemukan di hamparan pasir. Jauh sebelum letusan Gunung Krakatau menerjang Peucang, pada 27 Agustus 1883, pulau di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Jawa Barat, ini dihuni oleh masyarakat tani, dan dijadikan daerah pertanian. Ledakan dahsyat yang legendaris itu menjadikannya daerah perhutanan.
Posisi Peucang yang dihimpit oleh jalan masuk daerah Sumur, dan juga gerbang menuju luasnya Samudra Hindia, membuat kondisi lautnya tidak berombak, tenang dan menyejukkan. Kombinasi antara cakrawala yang bersih, pasir putih, gradasi warna laut dari hijau muda hingga biru tua, memberikan sebuah penyegaran tersendiri, tepat begitu Anda memijakkan langkah pertama di pulau ini.
Bicara harga, Anda harus me-nyediakan budget yang tidak sedikit, untuk mencapai ke pulau Peucang. Harga yang dipatok untuk perjalanan tiga jam sekali jalan dengan kapal motor nelayan sekitar Rp 1,5 juta.
Selama perjalanan itu pun ada kepercayaan setempat: pantang  ber-kata tidak senonoh dan buang air kecil dengan posisi berdiri. Konon pernah ada kapal nelayan yang seketika rusak dan berhenti berlayar, hanya karena salah satu penumpang melontarkan sumpah serapah setelah terciprat ombak di tengah perjalanan.
Mendengar kisah itu, saya berusaha menaati segala pantang, takut-takut ada salah ucap terlontar, yang bisa membuat perjalanan kami terhenti sebelum sampai di tujuan. Berada di tengah lautan, membelah ombak siang itu terasa sangat menyenangkan. Agaknya euforia itu hinggap karena ini adalah pulau atau pantai pertama yang kami sambangi, dari keseluruhan ekspedisi kali ini.
Dari kejauhan pula, saya menerka-nerka, mahluk apa yang berkeliaran ke sana ke mari di de-pan dermaga. Tebakan saya benar, Trachypithecus auratus auratus, nama Latin dari lutung, sedang berkumpul di depan dermaga, entah apa yang mereka lakukan.
Lutung adalah salah satu spesies, yang menjadi “penghuni tetap” pulau ini. Selain si mungil lincah itu, Anda juga bisa menemukan banteng Jawa, merak hijau, rusa, kijang, babi hutan, juga biawak. Sejumlah satwa unik yang tak akan Anda temukan di kehidupan keseharian, bisa Anda temui di pulau ini.
Keberagaman ini pun diakui dunia internasional— UNESCO menganugerahi Peucang, yang berada dalam kawasan TNUK, ini se-bagai salah satu situs alam warisan dunia. Kami diingatkan untuk selalu berhati-hati dengan kawanan lutung. Mereka iseng, mendadak mengambil barang-barang yang ada di badan orang-orang, seperti topi, kamera, kacamata, pena.
Soal akomodasi, hanya ada satu resor di Peucang, dengan restoran menghadap laut lepas. Meski tiap kamar di resor  yang dikelola oleh PT Wanawisata Alam Hayati, ini dilengkapi televisi dan pen-dingin ruangan, kami lebih memilih tidak mengaktifkannya. Di sini tidak ada sinyal telepon seluler, namun terdapat telepon darurat via satelit, yang dioperasikan dengan tarif tersendiri.
Berada di tempat seindah Peucang tanpa sinyal telepon selular, sama sekali tidak menjadi masalah. Saya mengistilahkannya sebagai, “Menikmati keterasingan yang amat mengasyikkan.”Semula, kami berencana mem-bu-ka kegiatan di sini dengan snorkeling, namun karena cuaca kurang mendukung, akhir-nya kami langsung menuju Cidaon, untuk bertualang di atas kano.
Lintas perairan dengan kano selalu men-jadi salah satu imajinasi saya sejak kecil. Kenikmatan membelah hutan bakau dan mengayuh kano sambil me-nyatukan imaji dengan bebunyian alam, hampir tidak bisa dicari gantinya.
Di atas kano yang bisa dipenuhi mak-simal 4 orang, saya mendayung perlahan dan memasang mata awas, kalau-kalau ada flora, fauna, atau pemandangan unik yang harus diabadikan via lensa kamera.
Selanjutnya, dari Cidaon, kami  menuju padang sabana. Tidak disediakan teropong untuk dapat melakukan pengamatam secara detail. Namun keberadaan banteng dan rusa yang saya lihat dengan mata telanjang benar-benar menyenangkan. Pada sore hari, kawanan banteng berjumlah lima hingga delapan, sering berkumpul di bawah pohon rindang hingga matahari terbenam.
Seharusnya, kami bisa melanjutkan perjalanan menuju Karang Copong, dan juga trekking ke bagian luar TNUK, namun ternyata waktu mendesak kami untuk kembali membelah lautan dan bergegas hinggap di destinasi selanjutnya. Peucang meninggalkan memori tersendiri di benak saya, semoga tetap menyublim di dalam hati, sampai pada akhirnya ada kesempatan lain untuk datang ke sana.
(Teguh Wicaksono. National Geographic Traveler)